PERBANDINGAN SISTEM PEMERINTAHAN ANTARA INDONESIA DAN AUSTRALIA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Indonesia menerapkan sistem pemerintahan presidensial dengan bentuk negara republik kesatuan. Menurut Undang-undang Dasar 1945, Presiden memiliki dua peran sekaligus, yaitu sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Kekuasaan negara dibagi menjadi tiga bagian, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif, yang seharusnya saling mengawasi. Namun, dalam praktiknya, kekuasaan eksekutif lebih dominan dibandingkan dua cabang lainnya. Hal ini terlihat dalam hubungan politik sehari-hari, seperti dalam proses membuat undang-undang atau kebijakan publik yang umumnya diambil oleh presiden dan kabinet, bukan oleh parlemen. (Sumber: Jurnal Ilmu Hukum, Universitas Jember, 2017). Berbeda dengan Indonesia, Australia menggunakan sistem pemerintahan federal dengan bentuk monarki konstitusional dan sistem parlementer.
Dalam sistem tersebut, kepala negara secara resmi adalah Raja atau Ratu Inggris yang diwakili oleh Gubernur Jenderal, sedangkan kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Pemerintah pusat berbagi kekuasaan dengan pemerintah daerah sesuai dengan konstitusi, sehingga kewenangan lebih terdesentralisasi dibandingkan dengan sistem Indonesia. Di Australia, eksekutif bekerja berdasarkan kepercayaan dari parlemen, artinya kabinet harus bertanggung jawab dan bisa diganti jika tidak mendapat dukungan mayoritas di parlemen. (Sumber: Parliamentary Education Office Australia, 2023). Perbedaan dasar ini membuat Indonesia dan Australia menjadi contoh yang menarik untuk diteliti.
Keduanya adalah negara demokrasi, tetapi membangun sistem pemerintahan dengan pendekatan yang sangat berbeda. Indonesia fokus pada stabilitas politik melalui sistem presidensial, sedangkan Australia lebih menekankan transparansi dan tanggung jawab eksekutif melalui sistem parlementer. Dengan membandingkan kedua sistem tersebut, kita bisa lebih memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing sistem, serta bagaimana relevansi sistem tersebut dalam meningkatkan demokrasi dan penerapan hukum di Indonesia.
1.2 Tujuan
1. Memahami karakteristik system pemerintahan Indonesia secara mendalam.
2. Menyusun analisis yang logis dan sesuai dengan data yang ada.
3. Memahami perbedaan dan persamaan sistem pemerintahan di Negara Australia.
1.3 Metode kajian
Kajian ini menggunakan metode penelitian yuridis normative yang mengutamakan pada studi kepustakaan (library research). Pendekatan dalam metode kajian ini melibatkan pengumpulan materi referensi dari jurnal, artikel dan sumber-sumber lainnya yang relevan. Maka dalam kajian ini kami melakukan analisis yang terdapat data dari berbagai sumber literasi kemudian diproses secara mendalam untuk memastikan keterkaitan informasi yang dibahas.
BAB II
PEMBAHASAN
1. SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA
Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial sesuai dengan UUD 1945 yang telah diubah. Dalam sistem ini, Presiden memegang peran ganda sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu, menjabat selama lima tahun, dan dapat bertugas maksimal dua masa. Sistem ini dibuat agar penduduk mendukung pemerintahan secara demokratis serta memastikan kepemimpinan negara tetap stabil.
Pemerintahan di Indonesia dijalankan dengan prinsip pemisahan kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif memimpin pemerintahan dengan bantuan wakil presiden dan menteri-menteri yang diangkat serta diberhentikan olehnya. Menteri-menteri ini bertanggung jawab langsung kepada Presiden, bukan kepada DPR, yang menunjukkan ciri khas sistem presidensial. Kekuasaan legislatif ada di tangan DPR dan DPD, yang bersama-sama membentuk MPR. DPR memiliki peran utama dalam penyusunan hukum, penganggaran, dan pengawasan, sementara DPD mewakili kepentingan daerah. Kekuasaan yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan lembaga peradilan lainnya, dengan tugas menjaga keadilan dan menerapkan hukum konstitusi.
Prinsip checks and balances diatur secara resmi agar lembaga negara bisa saling mengawasi.
DPR memiliki kewenangan untuk interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat, sementara Presiden punya peran dalam proses penyusunan undang-undang. Namun, dalam praktiknya, keseimbangan ini tidak selalu berjalan baik karena kekuasaan eksekutif sering dominan dalam menentukan kebijakan dan agenda hukum. Hubungan antara eksekutif dan legislatif juga sering hanya bersifat pragmatis dan transaksional, seperti dalam pembahasan anggaran dan rancangan undang-undang.
Salah satu ciri penting sistem pemerintahan Indonesia adalah adanya desentralisasi.
Sejak reformasi 1998, otonomi daerah diperluas, sehingga pemerintah daerah punya kewenangan besar dalam mengatur urusan dan keuangan daerah. Tujuannya adalah memberikan pelayanan yang lebih dekat ke masyarakat serta mempercepat pembangunan di tingkat lokal. Meski demikian, desentralisasi juga menimbulkan beberapa tantangan seperti ketidakseimbangan kemampuan antar daerah, politik keluarga, dan korupsi di tingkat lokal yang mengurangi efektivitas otonomi.
Secara keseluruhan, sistem presidensial di Indonesia dirancang agar memberikan stabilitas dan legitimasi kuat bagi Presiden serta menjaga pemisahan kekuasaan di antara lembaga negara. Namun, dalam praktiknya, masih ada jarak antara desain konstitusi dengan kenyataan politik. Tantangan utama terletak pada bagaimana memperkuat mekanisme checks and balances, meningkatkan kemandirian lembaga yudikatif, memperkuat peran pengawasan legislatif, serta memastikan desentralisasi berjalan transparan dan akuntabel. Dengan demikian, meskipun sistem pemerintahan Indonesia sudah berkembang cukup baik sejak masa reformasi, masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan untuk mewujudkan demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang lebih baik.
2. SISTEM PEMERINTAHAN AUSTRALIA
Australia menerapkan sistem pemerintahan parlementer dengan demokrasi liberal yang dipadukan dengan monarki konstitusional. Kepala negara resmi adalah Raja Inggris, namun perannya lebih bersifat simbolis dan diwakili oleh Gubernur Jenderal di tingkat federal. Sementara itu, pengelolaan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Perdana Menteri dan kabinetnya, yang berasal dari partai atau koalisi politik yang memiliki mayoritas kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representatives). Legitimasi pemerintah sangat bergantung pada dukungan parlemen.
Parlemen Australia terdiri dari dua kamar: Dewan Perwakilan Rakyat sebagai kamar rendah dan Senat sebagai kamar tinggi. Dewan Perwakilan Rakyat memegang peranan utama dalam proses pembentukan pemerintahan karena Perdana Menteri dan kabinet dipilih dari sini. Sedangkan Senat berfungsi sebagai lembaga pengawas dengan kewenangan legislatif yang kuat, termasuk dapat menolak atau menunda pengesahan undang-undang. Sistem dua kamar ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan antara representasi rakyat secara langsung di Dewan Perwakilan Rakyat dan representasi negara bagian di Senat.
alah satu ciri khas sistem parlementer Australia adalah adanya tanggung jawab eksekutif kepada legislatif. Kabinet harus mengundurkan diri jika kehilangan dukungan mayoritas di parlemen melalui mosi tidak percaya. Hal ini menunjukkan bahwa stabilitas pemerintahan sangat dipengaruhi oleh dinamika politik dalam parlemen. Meski demikian, Australia dikenal memiliki sistem politik yang relatif stabil, berkat adanya dominasi dua partai besar yaitu Partai Buruh dan Partai Liberal, walaupun partai-partai kecil juga memainkan peran penting terutama di Senat.
Di sisi lain, kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung Australia (High Court of Australia) yang berfungsi menafsirkan konstitusi, menguji undang-undang, dan menyelesaikan sengketa antara negara bagian atau antara negara bagian dengan pemerintah federal. Institusi ini menegaskan prinsip rule of law, yang berarti semua lembaga negara harus mematuhi hukum.
Selain itu, Australia menerapkan sistem federalisme, di mana negara bagian memiliki kewenangan besar untuk mengatur urusan dalam negeri seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Pemerintah federal bertanggung jawab atas isu-isu nasional seperti pertahanan, kebijakan luar negeri, dan perdagangan. Pembagian kewenangan ini kadang memunculkan ketegangan politik dan hukum, tetapi juga memberikan fleksibilitas untuk mengakomodasi keberagaman antar wilayah.
Secara keseluruhan, sistem pemerintahan Australia menitikberatkan pada prinsip akuntabilitas dan representasi melalui parlemen, didukung oleh tradisi hukum common law yang kuat. Stabilitas politik didukung oleh sistem partai yang mapan, mekanisme parlemen yang efektif, serta peran simbolis monarki yang menjaga kesinambungan negara. Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam menghadapi dinamika koalisi politik di parlemen, konflik antara pemerintah federal dan negara bagian, serta tuntutan masyarakat agar proses demokrasi berjalan lebih transparan dengan partisipasi publik yang lebih luas.
3. TABEL PERBANDINGAN SISTEM
PEMERINTAHAN
4. ANALISIS KRITIS
Sistem pemerintahan Indonesia dan Australia sama-sama berlandaskan konstitusi dan demokrasi, tapi keduanya berjalan dengan cara yang berbeda. Indonesia menggunakan sistem presidensial di mana kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dipisahkan secara tegas. Sementara itu, Australia mengadopsi sistem parlementer di mana eksekutif justru lahir dari legislatif dan bertanggung jawab langsung kepada parlemen. Perbedaan ini berdampak besar pada bagaimana politik berfungsi dan stabilitas pemerintahan di masing-masing negara.
Di Indonesia, Presiden dipilih langsung oleh rakyat sehingga memiliki kekuatan politik yang cukup besar. Namun, sifat kekuasaan eksekutif yang kuat ini kadang membuat posisi legislatif kurang berdaya, karena pengawasan DPR sering kali tidak berjalan maksimal. Praktik politik yang bersifat transaksional dan ketergantungan Presiden pada koalisi partai juga memperlemah mekanisme checks and balances yang seharusnya berjalan efektif. Akibatnya, ada kesenjangan antara teori sistem presidensial dalam konstitusi dan realitas politik di lapangan.
Sebaliknya, di Australia, eksekutif harus mendapat dukungan langsung dari parlemen dan bisa dijatuhkan lewat mosi tidak percaya. Ini memberi parlemen kontrol yang kuat atas pemerintah sehingga akuntabilitas lebih terjaga. Namun, kestabilan politik Australia tidak hanya ditentukan oleh sistem parlementer itu sendiri, melainkan juga oleh adanya dua partai besar yang dominan, sehingga risiko perpecahan koalisi lebih kecil. Berbeda dengan Indonesia yang menghadapi tantangan dari sistem multipartai yang sangat beragam dan fragmentasi koalisi yang lebih kompleks.
Kedua sistem punya kelebihan dan kekurangan. Sistem presidensial Indonesia memberikan jaminan masa jabatan Presiden yang stabil, tapi bisa rentan terhadap kompromi politik yang melemahkan akuntabilitas. Sistem parlementer Australia lebih luwes dan mudah diawasi, tapi pemerintah bisa jatuh kapan saja jika kehilangan dukungan mayoritas di parlemen. Namun dalam praktiknya, stabilitas di Australia lebih terjaga berkat budaya politik dan struktur kepartaian yang lebih kuat.
Intinya, efektivitas suatu sistem pemerintahan bukan hanya bergantung pada bagaimana aturan konstitusionalnya dibuat, tapi juga pada budaya politik, kualitas partai, serta kematangan demokrasi sebuah negara. Indonesia perlu memperkuat kontrol legislatif, meningkatkan independensi lembaga peradilan, dan memperbaiki sistem partai agar checks and balances benar-benar berjalan. Australia pun harus terus waspada terhadap dinamika politik koalisi dan menjaga keseimbangan antara kewenangan pemerintah federal dan negara bagian.
Dari perbandingan ini, bisa disimpulkan bahwa baik sistem presidensial maupun parlementer masing-masing punya potensi dan tantangan tersendiri. Yang paling penting adalah bagaimana sistem itu dijalankan dalam praktik politik sehari-hari. Demokrasi yang sehat membutuhkan transparansi, akuntabilitas, dan budaya politik yang sejalan dengan semangat konstitusi, bukan hanya aturan formal yang tertulis di undang-undang dasar.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Perbandingan antara sistem pemerintahan Indonesia dan Australia menunjukkan bahwa desain konstitusional hanyalah salah satu aspek yang menentukan keberhasilan demokrasi. Indonesia dengan sistem presidensialnya memiliki keunggulan dalam menjaga stabilitas masa jabatan eksekutif, tetapi masih menghadapi tantangan seperti lemahnya checks and balances serta ketergantungan yang besar pada politik koalisi. Di sisi lain, Australia yang menganut sistem parlementer menawarkan tingkat akuntabilitas yang lebih tinggi melalui mekanisme parlemen, namun tetap membutuhkan kestabilan dalam konsolidasi partai-partainya agar pemerintahan tidak sering berganti-ganti secara terlalu cepat.
Dari analisis ini, dapat disimpulkan bahwa keberhasilan pemerintahan tidak semata-mata bergantung pada sistem yang diterapkan, melainkan juga pada kualitas lembaga-lembaga politik, budaya demokrasi, dan tingkat kedewasaan masyarakat serta aktor politiknya. Indonesia perlu memperkuat praktik demokrasi yang lebih substansial agar prinsip pemisahan kekuasaan dapat berjalan secara konsisten. Sementara itu, Australia harus terus menjaga keseimbangan antara fleksibilitas sistem parlementer dan stabilitas politik guna menghindari ketidakpastian berlebih.
Refleksi penting yang bisa diambil adalah bahwa setiap negara memiliki konteks sosial, politik, dan sejarah yang unik, yang memengaruhi cara sistem pemerintahan mereka dijalankan. Karena itu, tidak ada satu sistem pun yang secara mutlak lebih unggul. Yang terpenting adalah bagaimana sebuah negara mampu menyesuaikan desain institusionalnya dengan kondisi politik dalam negeri guna menciptakan pemerintahan yang akuntabel, stabil, dan mampu merespons kebutuhan rakyat secara efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, M. (2020). Peran Mahkamah Konstitusi dalam menjaga demokrasi di Indonesia. Indonesian Journal of Law and Policy, 5(1), 45–60.
Latief, A. (2022). Pergeseran sistem pemerintahan Indonesia pasca amandemen UUD 1945. Jurnal Transformasi Administrasi, 12(2), 134–148.
Pratama, D. (2023). Hubungan eksekutif dan legislatif di Indonesia: Antara kooperasi dan konflik. Jurnal Administrasi dan Pendidikan, 14(3), 201–215.
Saunders, C. (2017). The Australian federal system: Balancing national and state interests. Publius: The Journal of Federalism, 47(2), 234–256. https://doi.org/10.1093/publius/pjx010
Sriwijaya Law Review. (2019). Desentralisasi dan tantangan pemerintahan daerah di Indonesia. Sriwijaya Law Review, 3(2), 245–262.
Susanti, R. (2021). Checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Jurnal Legislasi Indonesia, 18(1), 77–92.
Tiernan, A., & Woeller, P. (2010). Cabinet government in Australia: Challenges and changes. Australian Journal of Public Administration, 69(3), 300–313. https://doi.org/10.1111/j.1467-8500.2010.00699.x
Twomey, A. (2019). The High Court and constitutional interpretation in Australia. Melbourne University Law Review, 43(2), 478–502.
Uhr, J. (2015). Parliament and accountability in the Australian system. Australian Journal of Political Science, 50(3), 412–429. https://doi.org/10.1080/10361146.2015.1058350
Wanna, J. (2018). Political stability and party politics in Australia. Australian Journal of Politics and History, 64(1), 19–37. https://doi.org/10.1111/ajph.12441


Komentar
Posting Komentar